Inggit Garnasih

Inggit Garnasih adalah wanita asal Banjaran, Bandung. Anak ketiga pasangan Ardjipan dan Asmi ini terlahir dengan nama Garnasih pada 17 Februari 1888, tepatnya di Desa Kamasan Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung. Kakaknya bernama Natadisastra dan Moertasih. Ia tumbuh menjadi gadis cantik yang dikkarena penyair adalah petani puisi yang handal.agumi banyak pria. Karena kecantikannya, di kalangan pemuda beredar ungkapan “Mendapat senyuman dari Garnasih bagai mendapat uang seringgit". Kata “ringgit” kemudian berubah menjadi "Inggit" yang menempel terus pada nama Garnasih.

“Inggit adalah contoh bagi gadis-gadis sebayanya. Karena itulah Soekarno menyebutnya Srikandi,” kenang SK Trimurti, salah seorang pejuang kemerdekaan.

Pada usia 12 tahun Inggit sudah menikah dengan Nata Atmaja seorang patih di Kantor Residen Priangan. Perkawinan ini tidak bertahan lama dan beberapa tahun kemudian Inggit menikah lagi dengan seorang pedagang kaya yang juga tokoh perjuangan dari Sarekat Islam Jawa Barat, H. Sanoesi. Mereka tinggal di Jl. Kebonjati. Di rumah inilah kali pertama Inggit Garnasih bertemu mata dengan Soekarno muda, lalu menikah.

Dalam surat nikah dicantumkan usia Soekarno dari 22 tahun di tuakan menjadi 24 tahun, sedangkan usia Inggit Garnasih dimudakan dari 36 tahun menjadi 35 tahun (Anwar, 2002:18). Mereka menikah di rumah orang tua Inggit, di jalan Javaveem, Bandung. Baru setelah itu mereka pindah ke Gang Jaksa dan terakhir menempati rumah di jalan Tjiateul, Bandung. Pernikahan Soekarno dan Inggit dikukuhkan dengan Soerat Keterangan Kawin No. 1138, tertanggal 24 Maret 1923, bermaterai 15 sen, dan berbahasa Sunda.

Inggitlah yang akhirnya menemani dan mendorong Soekarno hingga memungkinkan menyelesaikan studinya dengan baik. Inggit jugalah yang mendampingi Soekarno di masa-masa sulit, masa awal perjuangan yang sengit, awal dimana Soekarno meretas menjadi patriot besar untuk tanah airnya. Sebagai pendamping Soekarno muda, Inggit bukan hanya menjadi istri, tetapi sekaligus menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya. Apalagi setelah Bung Karno bersama dua pengurus Partai Nasional Indonesia (PNI) ditangkap dan kemudian dijebloskan ke penjara Banceuy karena melakukan kegiatan politik di Solo dan terakhir di Yogyakarta pada 29 Desember 1929. Ia kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin setelah dalam sidang Landraad Bandung dijatuhi hukuman empat tahun penjara.

Dari 8 perempuan yang diperistri Soekarno, Inggit bagai sebuah pondasi bagi Soekarno. "Aku telah mengamati, kalau engkau membelah dada seseorang, temasuk aku, akan terbaca dalam dadanya bahwa kebahagiaan dalam perkawinan baru akan tercapai apabila si istri merupakan perpaduan dari seorang ibu, kekasih, dan seorang teman. Aku ingin teman hidupku bertindak sebagai ibuku. Kalau aku pilek, aku ingin dipijitnya. Kalau aku lapar, aku ingin menyantap makanan yang dia masak sendiri. Kalau bajuku koyak, aku ingin istriku menambalnya.” Demikianlah pengakuan Soekarno seperti yang termaktub dalam biografi "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" yang ditulis oleh Cindy Adams.

“Dengan Utari (istri pertama Soekarno) keadaannya terbalik. Aku yang menjadi orang tuanya, dia sebagai anak", lanjut Bung Karno. Pernikahan pertama Bung Karno dengan Siti Oetari Tjokroaminoto, putri H.O.S Tjokroaminoto, mungkin lebih merupakan balas jasa Bung Karno kepada gurunya itu. Bung Karno sebenarnya hanya ingin meringankan beban Pak Tjokro yang ditinggal mati oleh istrinya. Pada waktu itu pernikahan Soekarno-Utari dilaksanakan secara "kawin gantung". Utari ikut bersama Soekarno yang waktu itu sedang menimba ilmu di THS (sekarang ITB) Bandung. Bersama mereka nge-kost di rumah Inggit Ganarsih. Namun ternyata, Soekarno tak mendapatkan sosok istri idaman pada diri Utari. Pikiran Utari masih layaknya anak-anak. Ia belum paham akan kewajibannya sebagai istri. Justru kebutuhan Soekarno dipenuhi oleh Inggit. Mulai dari makan, baju, hingga merawatnya saat sakit. Akhirnya Soekarno mengembalikan Utari kepada Pak Tjokro, ayahnya, setelah tiga tahun hidup dengannya tanpa ia "sentuh" sedikitpun.

Dalam buku itu, Soekarno secara jujur mengungkapkan betapa Inggit menjadi sosok ibu yang mengejewantahkan kasih sayang tulus dan menyediakan segala kebutuhan diperlukan oleh pemuda yang sedang terbakar oleh gelora nasionalisme untuk memerdekakan bangsanya dari cengkeram penjajahan itu. "Inggit dengan matanya yang besar dan gelang di tangan itu tidak memiliki latar belakang yang menonjol. Dia sama sekali tidak terpelajar, tetapi bagiku intelektualisme tidaklah penting dalam diri seorang perempuan. Untukku, yang menjadi ukuran adalah sifat kemanusiaan. Perempuan ini sangat mencintaiku. Dia tidak memberikan pendapat. Dia hanya memandang dan memperhatikan, mendorong dan memuja. Dia memberikan segala sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh ibuku. Dia memberiku cinta, kehangatan, sikap tidak mementingkan diri sendiri yang kuperlukan dan tidak pernah kuperoleh sejak aku meninggalkan rumah ibuku".

"Psikater akan mengatakan bahwa ini adalah pencarian kembali kasih sayang ibu. Mungkin juga, siapa tahu? Jika aku mengawini Inggit karena alasan ini, itu terjadi secara tidak sadar. Dia waktu itu, dan sampai sekarang, masih seorang perempuan yang budiman. Pendeknya, kalau dipikirkan secara sadar, perasaan-perasaan yang dia bangkitkan kepadaku tidak berbeda dengan yang dia berikan pada seorang anak kecil".

"Dalam periode kehidupanku selanjutnya, Inggit sangat penting bagiku. Dia adalah ilhamku. Dia adalah pendorongku. Dan dalam waktu dekat aku memerlukan semua ini. Aku sekarang mahasiswa di tahun kedua. Aku sudah menikah dengan seorang perempuan yang kubutuhkan. Usiaku sekarang lebih 21 tahun. Masa jejakaku sudah berada di belakangku. Tugas hidupku terbentang di depanku. Pemikiran awal yang dipupuk oleh Pak Cokro dan mulai menemukan bentuknya di Surabaya, tiba-tiba keluar menjadi kepompong di Bandung dan berkembang dari keadaannya itu menjadi seorang pejuang politik yang sudah matang. Dengan Inggit berada di sampingku, aku melangkah maju memenuhi perjanjianku dengan sang nasib".

Dan, melangkahlah Soekarno menjemput nasibnya sebagai calon pemimpin besar. Di Bandung pada 4 Juli 1927 ia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang bertujuan meraih kemerdekaan sepenuhnya bagi Bangsa Indonesia. Suatu tujuan tergolong radikal saat itu, karena organisasi-organisasi sebelum PNI selalu menyembunyikan sebagian dari tujuan mereka agar tidak dihambat oleh Belanda.

Di Bandung pula Soekarno semakin mengasah keahliannya berorasi. Pidato-pidatonya di depan massa semakin berapi-api dan kian terang- terangan membangunkan kesadaran rakyat untuk menggulingkan kekuasaan kolonial lalu memerdekakan diri. Belanda berusaha memadamkan api perjuangan Soekarno dengan dinginnya tembok sel tahanan. Atas tuduhan hendak menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda, Soekarno dijatuhi hukuman empat tahun pidana di penjara Sukamiskin (1928).

Adalah Inggit yang secara rahasia mengirimkan berbagai berita kepada Soekarno agar semangat suaminya itu tidak padam selama terkurung dinding penjara. Soekarno dalam biografinya pernah bercerita, "Katakanlah Inggit mengirimkan kitab Alquran pada 24 April. Aku harus membuka bab 4 halaman 24 dan dengan ujung jari aku meraba dengan teliti satu halaman itu. Di bawah huruf-huruf tertentu terdapatlah bekas lubang jarum. Jadi seperti huruf braile. Di bawah huruf A terdapat sebuah lubang kecil. Di bawah huruf N sebuah lubang kecil lagi dan seterusnya. Dengan demikian aku dapat mengetahui isi berita".

Bahkan tak jarang Inggit "menyusupkan" koin gulden  ke dalam kue-kue yang dibawanya untuk "Engkus" (panggilan sayang Inggit untuk Bung Karno), yang kelak digunakan untuk menyogok penjaga penjara supaya dapat membawakan surat kabar untuk Soekarno.

"Kalau isteriku membawakan telur biasa, aku meneliti kulitnya terlebih dahulu sebelum memakannya. Satu tusukan peniti berarti kabar baik. Dua tusukan berarti seorang kawan ditangkap. Tiga tusukan berarti penyergapan besar-besaran dan semua pemimpin ditangkap,” kenang Bung Karno.

Sejak Soekarno terlibat kegiatan politik yang amat menyita waktu, Inggit sudah terbiasa mencari penghasilan sendiri dengan menjual bedak dan jamu yang diramunya sendiri. Selama Soekarno berada dalam penahanan, Inggit pun mencukupi sendiri kebutuhan hidupnya dari berjualan alat-alat kecantikan itu. Soekarno pun berujar mengenai istrinya itu, "Inggit selalu menjadi jimat keberuntunganku. Ke mana saja aku pergi, dia selalu ikut".

Ke pembuangan di Ende (1934), sebuah tempat terpencil di Pulau Flores, Inggit setia mendampingi suaminya. Bahkan di tempat pembuangan itu, ibunda Inggit yang bernama Amsi, akhirnya meninggal dunia dan dimakamkan. Di Ende, Inggit adalah satu-satunya teman bicara dan diskusi bagi Soekarno.

Pada pembuangan selanjutnya ke Bengkulu (1938), Inggit pun menemani Soekarno. Dan di Bengkulu inilah prahara rumah tangga mereka mulai meruak dengan kehadiran Fatimah (berubah nama menjadi "Fatmawati = Bunga Teratai", setelah Bung Karno menikahinya pada 1 Juni 1943). Bagaimana pun besarnya kharisma kepemimpinan Soekarno, ia tetaplah seorang manusia. Ia menginginkan keturunan yang tidak diperolehnya dari Inggit. Saat itu Fatmawati berumur 17 tahun, sedangkan Inggit telah menapaki usia 53 tahun.

Berkatalah Soekarno kepada Inggit dengan air menggenangi pelupuk matanya, "Kalau sekiranya aku menjalani hidup yang normal dengan kegembiraan yang normal pula, mungkin aku dapat menerima kesepian karena tak punya anak. Tetapi aku tidak memiliki sesuatu kecuali kemiskinan dan penderitaan. Aku sekarang berumur 40. Dalam umur 28 tahun aku sudah dipenjara, 12 tahun dari tahun-tahun terbaik seorang laki-laki kuhabiskan dalam pembuangan. Bagaimana pun, dengan cara apa pun, sebaiknya ada suatu imbalan. Aku merasa aku tidak lagi mampu menanggung beban jika yang ini juga dirampas dariku".

Ramadhan KH juga menuliskan potongan dialog yang menjadi awal bencana rumah tangga Soekarno – Inggit. “Tidak mungkin Kus (Soekarno) menceraikan kamu, Enggit (panggilan mesra Bung Karno kepada Inggit). Tidak mungkin. Bukankah bisa aku mengawininya sementara kita tidak bercerai?” Kata Bung Karno.

“Oh, dicandung? Ari kudu dicandung mah, cadu! (Oh, dimadu? Kalau mesti dimadu, pantang!)” Jawab Inggit lugas dan tegas.

Dalam versi kisah lain digambarkan dialog Bung Karno dan Inggit sebagai berikut:

“Euis, aku akan menikah lagi supaya punya anak seperti orang-orang lain.” Kata Bung Karno.

“Kalau begitu antarkan saja aku ke Bandung!”   jawab Inggit.

“Tidak begitu, maksudku engkau akan tetap jadi istri utama. Jadi first lady seandainya kita nanti merdeka.”   Bung Karno kembali merayu.

“Tidak, antarkan saja aku ke Bandung!” jawab Inggit lirih.

Inggit bersikukuh pada sikapnya yang tak ingin dimadu. Soekarno pun sempat mengalah hingga pernikahan itu tetap bertahan setelah mereka meninggalkan Bengkulu dan menetap di Jakarta. Namun, rumah tangga mereka sudah terlanjur dilanda ketegangan. Pertengkaran sering pecah di antara keduanya. Dan Soekarno sendiri sering terserang penyakit sehingga harus dirawat di rumah sakit selama berpekan-pekan.

Perceraian pun akhirnya ditempuh pada 29 Januari 1942 sebagai jalan terbaik setelah melalui proses pertimbangan dan diskusi dengan beberapa sahabat Soekarno, yaitu Moh. Hatta, K.H. Mas Mansjur, dan Ki Hadjar Dewantara, yang sekaligus ikut bertindak sebagai saksi perceraian keduanya. Sebuah doa dan harapan diberikan Inggit kepada Soekarno ketika proses perceraian itu telah usai, doa itu berbunyi: “Selamat jalan dan semoga selamat dalam perjalanan“.

Soekarno ditemani oleh KH. Mas Mansjur kemudian mengantar Inggit ke Bandung, mengembalikan kepada pihak keluarga yang disambut dengan dingin. Inggit kembali tinggal di jalan Ciateul No. 8 (yang sejak tahun 1977 berubah menjadi Jl. Inggit Garnasih), sedang Soekarno sendiri balik ke Jakarta. Dalam catatan Roso Daras, Bung Karno masih sempat mengantarnya ke dokter gigi di pagi hari, dan mengantarnya ke Bandung serta membawakan barang-barang Inggit tanpa kecuali. Itulah akhir perpisahan keduanya. Inggit Garnasih, adalah pengantar Bung Karno ke gerbang kemerdekaan. Inggit memiliki panggilan kesayangan buat Bung Karno yaitu “Engkus”…. Dan panggilan itu ia ucapkan untuk terakhir kalinya, saat menatap jasad Bung Karno di Wisma Yaso (1970).

Di dekat jasad mantan suaminya itu, Inggit berucap, “Engkus, geuning Engkus tehmiheulan, ku Inggit di doakeun….” (Engkus, kiranya Engkus mendahului, Inggit doakan….). Sampai disitu, suaranya terputus, kerongkongan terasa tersumbat. Badannya yang sudah renta dan lemah itu, terhuyung diguncang perasaan sedih. Sontak, Ibu Wardoyo (nama aslinya Soekarmini), kakak kandung Bung Karno, memapah tubuh tua Inggit, yang saat itu berusia 82 tahun.

Dalam kesepiannya Inggit selalu berdoa bagi kebaikan Soekarno. Inggit kembali menjual bedak, meramu jamu, dan menjahit kutang sebagai nafkah hidupnya. Dagangannya dititipkan di toko "Delima". Inggit tidak mengeluh, tidak menangis. Demikianlah cinta Inggit pada Soekarno. Cinta semata-mata karena cinta. Tidak luka ketika dilukai dan tidak sakit ketika disakiti, tanpa pamrih tanpa nafsu/ambisi. Benar apa yang dikatakan seorang penulis, Apabila Bung Karno api maka Inggit kayu bakarnya. Inggit menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan, Inggit menghibur ketika Soekarno kesepian. Inggit menjahitkan ketika kancing baju Soekarno lepas, Inggit hadir ketika Soekarno muda membutuhkan kehangatan perempuan baik sebagai Ibu maupun teman. Inggit bagi Soekarno laksana Khadijah bagi Muhammad. Bedanya Muhammad setia hingga Khadijah meninggal sedangkan Soekarno kawin lagi, melangkah ke gerbang istana dan Inggit pulang ke Bandung, menenun sepi.

Inggit Garnasih menghabiskan sisa hidupnya secara bersahaja di Jl. Ciateul No. 8 Bandung, rumah pemberian Soekarno. Di rumah tersebut Inggit hidup bersama anak-anak dan cucu-cucu angkatnya. Tetap dengan menekuni kegiatan meramu jamu dan membuat bedak serta parem. Beberapa kali Bung Karno datang berkunjung yang membuat kawasan Ciateul disesaki penduduk yang ingin melihat presidennya dari dekat. Inggit wafat dalam usia 96 tahun,  beberapa tahun setelah meninggalnya Bung Karno (1970) dan Fatmawati (1980), pada 13 April 1984, dan dimakamkan di TPU Porib di kawasan Caringin, Bandung.

Rumah istri kedua mantan presiden Soekarno itu kini telah diresmikan menjadi Rumah Bersejarah oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat setelah dibeli pada 1993. Seorang pengunjung yang kebetulan lewat dan ingin melihat kondisi rumah peninggalan almarhumah Inggit melukiskan hatinya, “Aku tengok isinya, kosong melompong. Tak ada yang ditinggalkan oleh Inggit selain satu pelajaran tentang CINTA.”

Kebersahajaan sosok Inggit Garnasih sebagai seorang wanita dan istri, juga sempat difilmkan oleh Mizan Productions. Film yang dirilis pada 22 Desember 2011 lalu itu bertujuan mengungkap sejarah agar para masyarakat mengetahui bahwa ternyata dibalik kesuksesan seorang Soekarno, terdapat satu perempuan yang juga memiliki peranan penting namun tidak banyak diketahui masyarakat sekarang, Inggit Garnasih. Yah, “Dibalik kebesaran nama seorang lelaki, ada keagungan hati seorang perempuan.”

Ramadhan KH, dalam buku “Kuantar ke Gerbang : Kisah Cinta Bu Inggit Dengan Bung Karno”, menulis,  “Inggit adalah refleksi perempuan, yang kata orang Sunda disebut “istri binangkit” sempurna luar dalam. Dengan Inggit-lah Bung Karno melewati masa-masa tersulitnya selama dipenjarakan Belanda di Banceuy dan Sukamiskin Bandung hingga di buang ke Ende dan Bengkulu. Inggit selalu berada di sampingnya. Bila revolusi Amerika menyisakan kisah cinta romantis antara John Quincy Adams (Presiden ke-2) dengan Abigail Adams, maka perjuangan kemerdekaan bangsa ini dihiasi kisah cinta Inggit dan Bung Karno.”

Tak ketinggalan S.I. Poeradisastra di bagian Sekapur Sirih buku ”Kuantar ke Gerbang”  juga berkomentar, “Separuh dari semua prestasi Soekarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam Bank Jasa Nasional Indonesia".

Atas jasa-jasa semasa hidupnya, Pemerintah RI memberikan Tanda Kehormatan "Bintang Mahaputera Utama" kepada Inggit Garnasih pada tanggal 10 November 1977.